APRESIASI
NASKAH DRAMA
“JAKA TARUB”
KARYA AKHUDIAT
Yayang Eko
Setyo W
(115200012)
FAKULTAS KEGURUAN ILMU
DAN PENDIDIKAN
PRODI BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS PGRI ADI
BUANA SURABAYA
2011
Kata “drama” berasal dari bahasa Yunani draomai yang
berarti berbuat, berlaku, bertindak,
beraksi, dan sebagainya. Drama berarti perbuatan, tindakan atau action (Harymawan, 1988:1). Tontonan
drama memang menojolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain
(acting) dipanggung. Drama sering disebut disebut sandiwara atau teater. Kata
sandiwara berasal dari Jawa sandi yang berarti rahasia dan warah yang berarti
ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia atau tidak
terang-terangan. Mengapa? Karena lakon drama sebenarnya mengandung pesan/ajaran
(terutama ajaran moral) bagi penontonnya.(Asul Wiyanto, 2007 : 1-2).
Drama sangat dekat
dengan kenyataan hidup sehari-hari, seperti dikatakan Damono (1983:151), “Hanya
dalam pementasan, tokoh serta peristiwa dalam drama menjelma sungguh seperti dalam
kehidupan manusia sehari-hari”. Karya drama merupakan cermin kehidupan manusia
yang di dalamnya terdapat kesedihan, kejahatan, kebahagiaan, dan semua
persoalan yang ada dalam kehidupan. Pengarang menampilkan pelaku-pelakunya
dengan menggunakan laku, gerak, dan dialog untuk mengungkapkan emosi dan
pertikaian atau konflik antara pelaku-pelakunya dalam cerita.
Berdasarkan beberapa teori tersebut bisa ditarik
kesimpulan bahwa drama adalah kisah
kehidupan manusia yang dikemukakan di pentas berdasarkan naskah, menggunakan
percakapan, gerak laku, unsur-unsur pembantu (dekor, kostum, rias, lampu,
musik), serta disaksikan oleh penonton.
Perkembangan drama
di Indonesia pesat. Hal ini terlihat dari banyaknya pertunjukan drama di
televisi maupun drama pentas. Begitu populernya drama dalam kehidupan, sehingga
semua orang merasa sudah mengerti dan memahami sebuah drama. Minat masyarakat
terhadap pementasan drama timbul dari kebutuhan jiwa yang memerlukan hiburan
sebagai pelepas ketegangan atau sebagai pengisi waktu senggang. Di dalam
khazanah kesusatraan Indonesia modern, para pencinta drama tidak merasa asing dengan
nama besar Rendra, Putu Widjaya, Arifin C. Noor, atau Nano Riantiarno. Jawa
Timur juga memiliki seorang Akhudiat, dramawan nasional, aktif dalam Bengkel Muda Surabaya yang dikenal
produktif era- 70-an. Bahkan lima naskah dramanya memenangkan hadiah pada lomba
penulisan naskah drama Dewan keseniaan Jakarta (1972 – 1977). Adapun lima
naskah tersebut adalah Graffito
(tahun 1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Berasap Rumah Tak Beratap
(1974), Bui (1975), dan RE (1977). Berkat kelima naskah dramanya
tersebut, Akhudiat berkesempatan mengeyam pendidikan di International Writing Program, Universitas of Lowa, USA, pada tahun
1975. Teater pimpinan Akhudiat terkenal karena rombongan kentrungnya dengan
pementasan (kostum dan struktur cerita) modern. Akhudiat dalam Jaka Tarub memadukan unsur modern dengan
tradisional, yaitu memasukan unsur kentrung di dalam karyanya. Unsur kentrung
ini mampu menghidupkan suasana dengan warna kedaerahannya.
Drama Jaka Tarub karya Akhudiat sebagai produk
karya sastra tidak bisa lepas dari penulis, pembaca, kenyataan, sistem sastra,
dan sejarah sastra. Menurut Wellek dan Warren (dalam Budianto, 2001:82-83)
secara jelas menyebutkan bahwa ada tiga sudut pandang terhadap biografi atau
riwayat hidup yang perlu dibedakan, yaitu:
. biografi dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya
. biografi dapat mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra kepada pengarang secara pribadi
. biogarfi dapat diperlukan sebagai bahan untuk ilmu pengetahuaan atau psikologi penciptaan artistik.
. biografi dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya
. biografi dapat mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra kepada pengarang secara pribadi
. biogarfi dapat diperlukan sebagai bahan untuk ilmu pengetahuaan atau psikologi penciptaan artistik.
Dari ketiga sudut
pandang di atas, yang mungkin yang pertama, yang meiliki manfaat lebih bagi
sastra pada umumnya. Untuk memahami naskah drama secara lengkap dan terinci
dari segi struktur, maka teori yang dipakai untuk mengkaji alur adalah bahwa
alur terbagi dalam tiga jenis, yaitu sirkuler,
linear, dan episodic (Waluyo,
2003:12). Babak dan adegan membedakan teks drama dengan karya satra yang lain.
Menurut Sumarjo (1986:136) suatu babak dalam naskah drama adalah bagian dari
naskah drama yang merangkum semua peristiwa yang terjadi di satu tempat pada
urutan waktu tertentu, dan suatu adegan adalah bagian dari babak yang batasnya
ditentukan oleh perubahan peristiwa berhubungan dengan datang atau perginya
seorang tokoh cerita ke atas pentas. Pada naskah drama, pembabakan ditandai dua
hal, yaitu latar atau settingd dan
permasalahan pokok yang dibicarakan para pemain.
Alur merupakan
jalinan cerita dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua
tokoh yang berlawanan. Pelukisan awal drama Jaka Tarub memang sedikit mengejutkan
bagi pembaca. Tokoh Jaka Tarub dalam drama ini bukan gambaran tokoh Jaka Tarub
yang asli. Bahkan, jalinan cerita telah didekonstruksikan oleh pengarang.
Konflik mulai muncul pada saat Jaka Tarub mulai mencari Nawang Wulan. Dalam
bayangan pembaca, Nawang Wulan adalah bidadari yang cantik, lembut, dan
kehilangan selendang saat mandi. Namun, dalam drama ini Nawang Wulan berbeda.
Dalang : Ha? Ampun, nak ... (histeris)
Dimana anakku Wulan? Dimana?
Dimana Wulan? Oh Wulan ....
Jaka Tarub : Entah. Kami pisah sesudah kebun
kangkung
Dalang : Laki-laki tanpa kelembutan
Jaka Tarub : Dia ngajak pisah. Kami harus tahu,
perempuan sekarang tidak mau dibuntuti laki-laki melulu. Saya senang sikap
demikian tanpa menyakitkan hati ............
Tujuh Perempuan: (melambungkan
sayap-sayap ke udara. Menari buka pakaian)
Jaka Tarub : (turun dari tebing di latar belakang.
Mengendap, mengumpulkan barang-barang perempuan, dibuntal dalam kain panjang,
dipanggul di punggung kayak maling/kampung. Akan melangkah)
Nawang Wulan : (masuk dari kiri. Pakaian over all, montir, bagian atas backless. Nyangklong tas pelancong
Jaka Tarub : (masuk dai kanan. Membenahi kancing
celana. Membalikan badan)
Nawang Wulan : Kenapa celana kau? Nggak beres?
Jaka Tarub : Anak-anak keterlaluan bergurau. Sampai
celana segala dicopot
(Jaka Tarub:9)
Alur cerita bergerak dengan hilangnya selendang para
bidadari, salah satunya adalah selendang Nawang Wulan. Dalam cerita lazimnya,
Nawang Wulan tunduk pada perintah Jaka Tarub, namun dalam drama ini justru para
bidadarilah yang mengejar dan memperkosa Jakab Tarub. Karena itu Dalang si
penggerak cerita menjadi bingung dengan jalinan cerita yang ada. Adapun klimaks
cerita adalah kepergian Nawang Wulan meniti karir menjadi artis meninggalkan
Jaka Tarub. Jika diruntut, maka drama Jaka
Tarub mempunyai unsur exposition, komplikasi,
klimaks, dan resolusi serta termasuk kategori alur linear, yaitu cerita bergerak secara berurutan dari A-Z. Didalam naskah drama terdapat
babak-babak dan setiap babak terbagi menjadi beberapa adegan. Babak dan adegan
membedakan teks drama dengan karya sastra yang lain. Jika dipentaskan biasanya
pergantian babak ditandai dengan naik turunnya layar atau padamnya lampu,
sedangkan pergantian adegan biasanya ditandai dengan pergantian pemain. Pada
naskah drama pembabakan ditandai dua hal, yaitu latar atau setting dan permasalahan pokok yang dibicarakan para pemain. Tipe
drama menurut Riantiarno (2003:8-9) ada sembilan, yaitu tragedi, komedi,
trigikomedi, melodrama, farce, parodi, satire, musikal, dan opera. Drama Jaka Tarub termasuk tipe drama parodi,
yaitu fakta dan kenyataan yang diputarbalikan dengan maksud untuk dijadikan
bahan tertawaan dan orang biasanya mengenal tokoh, fakta atau kenyataan itu
sebagai komunikasi yang terjalin. Jaka Tarub karya Akhudiat merupakan drama parodi yang
terdiri atas dua babak. Babak pertama, menceritakan tentang siapa tokoh Jaka Tarub,
bagaimana sepak terjang dan prnampilannya. Diceritakan juga bahwa Nawang Wulan
dan beberapa bidadarilah yang memerkosa Jaka Tarub. Dalam babak atau ini banyak
adegan-adegan konyol dilakukan para tokohnya. Babak dua, bercerita tentang
keberadaan tokoh Macan yang ingin memperkenalkan Nawang Wulan dengan seorang
produser film yang ingin mempopulerkan
Nawang Wulan menjadi artis. Ternyata keinginan Nawang Wulan untuk menjadi artis
tidak mendapat tanggapan dari Jaka Tarub, bahkan ia menentang dan ingin membawa
pergi Nawang Wulan.
Tokoh-tokoh dalam
drama Jaka Tarub antara lain Jaka
Tarub, Nawang Wulan, Dalang, Macan, Produser Film, Koor Kentrung, Perempuan
1-6. Tokoh utama dalam drama ini adalah Jaka Tarub, karena ia banyak
berhubungan dan dikenai permasalahan di dalam cerita. Selain itu, Jaka Tarub
merupakan tokoh yang sering muncul dalam keseluruhan adegan drama. Tokoh yang
tidak boleh diabaikan keberadaannya adalah tokoh bawahan, karena merupakan
pendukung dan selalu membantu perkembangan jalan cerita atau peristiwa.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam drama Jaka
Tarub mempunyai potensi untuk melakukan tindakan atau perbuatan, dan
tindakan tersebut dapat diketahui melalui dialog-dialog yang diucapkan tokoh,
dan selanjutnya memberi gambaran tentang karakter masing-masing tokoh. Dalam
drama Jaka Tarub, cara yang digunakan
pengarang untuk mengetahui watak masing-masing tokoh dengan cara dramatik,
yaitu pembaca dapat mengetahui watak tokoh melalui dialog-dialog yang
diucapkan.
Jaka Tarub adalah
tokoh utama yang sekaligus dipakai sebagai judul cerita drama.Jaka Tarub dalam
drama karya Akhudiat ini berbeda dengan tokoh Jaka Tarub dalam dongeng Jawa.
Akhuidat menghidupkan kembali warna daerah dengan dibumbui selera masa kini.
Jaka Tarub berwatak bulat atau round
character , di awal cerita digambarkan sebagai tokoh yang acuh terhadap
lingkungan sekitarnya. Bahkan dengan tokoh Dalang sebagai pencerita, Jaka Tarub
terkesan tidak peduli.
Jaka Tarub :
(masuk di tempat bermain, berpakaian mode anak muda dan mencaklong
ransel pelancong di punggung)
Dalang : (tercengah-cengah)
Jaka Tarub : (acuh tak acuh) (mendekati Dalang,
diangkatnya berdiri, dibawah tempat bermain) Kakek,kek,kek... (membangunkan
orang tidur-duduk. Sudah kek, bangun kek)......
Jaka Tarub : Saya sumpek di musium, Kakek. Ketika
kau panggil aku aku dan kau bangkitkan dari mati-wayang bukan kepala girangku.Meregang
dalam himpitan kitab- kitab tebal,meloncat lewat jendela belakang dan lari di
semak-semak kayukangkung.
Kali pertama muncul
dalam cerita tokoh Jaka Tarub terkesan acuh dengan keadaan sekitarnya,termasuk
kepada Dalang yang ia sebut sebagai
kakek. Seiring bergulingnya waktu, perkembangan watak tokoh Jaka Tarub semakin
tampak. Jaka Tarub menjadi tokoh yang tidak mau diatur dan berbuat sesuka
hatinya.
Jaka Tarub : Terlambat, pak Dalang. Sudah
kubangunkan. Kami bersama meloncat di jendela ketika penjaga musium
terkantuk-kantuk di kursi
JakaTarub : Dia mengajak pisah. Kau harus tahu,perempuan
sekarang tidak mau dibuntut laki-laki melulu. Saya senang sikap demikian. Tanpa
saling menyakitkan hati. Kami habis....(berbisik ke Dalang)
(Jaka Tarub: 30-31)
Jaka Tarub : Bakar saja Kitabmu. Tidak bisa menolong
sama sekali.
Jaka Tarub : (dengan suara cengeng) Betul
Koor : Masih cinta, kejarlah. Jika
tidak minggatlah. Jangan toleh belakang.
Dalang : Jaka menimang si anak duduk di
lesung ........
Jaka Tarub : O Wulan. Tidak kusangka. Baiklah.
(berkemas-kemas)
Dalang : Ke mana Jaka?
Jaka Tarub : Minggat
Jaka Tarub : Tak sudi mati kususul Wulan. Kucuri!
(Jaka Tarub: 66-67)
Karakter tokoh Jaka Tarub berubah ketika mendapati
Nawang Wulan pergi meninggalkanya. Perasaan sedih dan marah bercampur aduk
menyelimuti hati Jaka Tarub. Perubahan watak yang dialami Jaka Tarub tersebut,
maka ia dikategorikan berwatak bulat.
Tokoh Nawang Wulan
dalam drama Jaka Tarub adalah tokoh
bawahan yang mendukung keberadaan tokoh utama. Tokoh Nawang Wulan berwatak
datar atau flat character. Nawang
Wulan dalam drama ini terkesan tomboi dan keras hati serta gaya bicaranya
ceplas-ceplos.
Nawang Wulan : (Masuk dari kiri. Pakaian over all, montir, bagian atas backless. Nyangklong tas pelancong).
Nawang Wulan : Kenapa celana kau? Nggak beres?
Jaka Tarub : Anak-anak keterlaluan bergurau. Sampai
celana segala dicopot.
Nawang Wulan : Penyakit turunan kambuh ya, Bung?
(ketawa)
Jaka Tarub : (balik bertanya) Kamu dari mana
ngelayap?
Nawang Wulan : (ketawa) Sama seperti kau.
(Jaka Tarub: 39)
Kutipan data di
atas memperlihatkan karakter Nawang Wulan yang berpenampilan maskulin atau
kelaki-lakian dan gaya bicaranya ceplas-ceplos jauh dari kelembutan, selain itu
watak keras hati Nawang Wulan tidak berubah dari awal sampai akhir cerita.
Drama Jaka Tarub karya
akhudiat ini tergolong jenis drama parodi. Jalan cerita Jaka Tarub sangat berbeda dengan cerita Jaka Tarub aslinya. Alur cerita dan karakter tokoh sudah mengalami
perubahan dan terjadi dekonstruksi, yaitu unsur dan bentuk-bentuk dalam karya
drama yang dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya. Dalam pengertian
ini, drama Jaka Tarub mengalami
pemutarbalikan fakta yang sebenarnya. Berikut kutipan data yang menjelaskan hal
tersebut:
Dalang :
Pakaianmu? Kenapa ganti koboi begini?
Jaka Tarub :
O-hoh, tukar tambah di butik Monel. Cara Perancisnya: BOUTIQUE DE MONELE.
Mereka demam mode kuno. Lihat aku dapat tukar 20 baju, 20 celana, 20 sepatu, 20
ikat pinggang, 20 bunddel cek pelancong, dan deposit di bank. Dengan
barang-barang ini bola bumi di tangan.
Dalang :
Calon gelandangan
Jaka Tarub : Seperti
ramalan orang-orang pinter: masa depan adalah Kebudayaan mobil. Saya siap dari
sekarang.
Dalang :
Rusak, rusak .....
(Jaka Tarub: 28-29)
Nawang Wulan: Jangan mengira kerja kami di butik melulu
buka baju tukar celana, pamer paha buka dada atau obral gosip.
(Ketawa) itu kan model-model yang kepalanya bencong,
merusak profesi.
Jaka Tarub :
Aku belajar tari pergaulan
Nawang Wulan: Sambil celana kau copot
Jaka Tarub :
Jadi kau dapat kerja model?
Nawang Wulan: Jangan sela dulu. Aku ingin ketawa
puas-puas. (Jaka Tarub: 40)
Selama ini, pembaca pasti tahu bahwa tokoh Jaka Tarub adalah
seorang lugu yang mencuri selendang bidadari bernama Nawang Wulan. Namun, dalam
cerita drama Jaka Tarub karya Akhudiat
ini ada pemutbalikan fakta tentang jalan cerita maupun pribadi para
tokoh-tokohnya. Jaka Tarub versi Akhudiat lebih modern, lebih kurang ajar, dan
yang lebih diutamakan masalah duniawi saja. Alasan itulah yang melatarbelakangi
drama Jaka Tarub bertipe parodi.
Dalam Jaka TarubI,
dialog yang dimunculkan sebagai besar dialog-dialog pendek. Adapun ragam bahasa
yang dipakai oleh pengarang adalah ragam bahasa lisan yang cenderung bercampur
dengan bahasa daerah atau bahasa asing. Pilihan kata atau diksi drama Jaka Tarub sangat jauh dari bahasa yang
baik dan benar, campur kode masih mendominasi dalam dialog tokohnya. Berikut
kutipan beberapa data tentang pilihan kata yang digunakan Akhudiat dalam Jaka Tarub.
Nawang Wulan :
Asal mata ijo kau tidak sering
kambuh. Hei lama-lama kau senewen. Dan butuh seorang Brouwer, psichiater. Kau jenis voyyeurist.
(Jaka Tarub: 39-40)
Macan :
Bukan singa MGM dari Hollywood, atau Esso/Exxon pengeruk minyak, atau si
kumbang Luhdoyo Tulungagung.
Macan :
Bukan. Juga tidak simbah. Opo kuwi? Aku isih teenager, kok, Belum
kakek-kakek. Jangan ngawer, mas
Dalang. (Jaka Tarub:55)
Kutipan di atas menunjukan beberapa dialog yang dilakukan
tokoh drama Jaka Tarub. Dalam drama Jaka Tarub pilihan kata yang dipakai
pengarang banyak menggunakan ragam bahasa lisan bercampur bahasa asing dan
bahasa daerah yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, diksi semacam itu menimbulkan seuasana
segar dan memancing keingintahuan pembaca untuk mengetahui
jalan cerita seutuhnya. Dalam drama Jaka
Tarub ada juga dialog batin atau interior
dialogue, yaitu dialog yang dilontarkan seorang tokoh dalam hatinya. Ada
juga yang disebut dialog pemancing atau feed.
Berikut contoh kutipan dialog batin tokoh dan dialog pemancing yang terdapat
dalam drama Jaka Tarub.
Jaka Tarub :
(melawan suara hatinya) Tidak, Tidak, TIDAK! O Wulan
Dalang : (memotong) jangan dulu (berpikir)
kalau begitu tidak usah adegan bidadari turun mandi.
Jaka
Tarub : Pakai, ah. Perlu. Kami habis
…. (Jaka Tarub:31)
Dialog batin dan dialog pemancing memang tidak
mendominasi cerita, hanya muncul pada adegan-adegan tertentu untuk membuat
ketegangan cerita dan membuat pembaca bertanya-tanya tentang kelanjutan cerita
tersebut. Selain dialog, drama Jaka Tarub
juga memunculkan cerita lebih jelas dan dramatis. Berikut kutipan datanya.
Monolog:
Dalang : Maka si bulan seperti roda cikar
bundar merah di timur. Ketika sungkup bumi adalah malam. Kau timang bayimu di
ranjang kau ikat sapimu dikandang kau bakar nyamuk dengan racun seperti kini
kubakar danyang-siluman bakar kemenyan (Jaka Tarub:24)
Monolog diucapkan oleh Dalang sebagai pengendali
cerita. Selain itu, pengarang mengibaratkan cerita Jaka Tarub seperti lakon wayang yang alurnya diatur oleh Dalang.
Monolog yang ditampilkan tokoh Dalang dalam Jaka
Tarub memang berbeda dari drama kebanyakan. Drama ini lebih menonjolkan
warna kedaerahan, khususnya seni wayang dan kentrung. Monolog Dalang hanya
sebagai pembuka lakon Jaka Tarub.
Drama Jaka Tarub tidak
mempunyai prolog, hanya suara music kentrung dan nyanyian lagu dolanan untuk
mengawali cerita. Setelah dianalisis secara intens, tampak keterjalinan
unsur-usnur dalam Jaka Tarub, mulai
dari alur sampai dengan dialog yang dilontarkan oleh tokoh-tokohnya.
Dalam drama Jaka
Tarub, Akhudiat tidak sekadar menawarkan hiburan kepada pembaca, tetapi
juga menghadirkan hasil renungan yang dalam dan gayut dengan masalah social
budaya. Struktur drama Jaka Tarub yang
dianalisis meliputi alur, babak dan adegan, tokoh dan penokohan, tipe drama,
sertaa dialog. Alur dalam drama Jaka
Tarub karya Akhudiat mempunyai unsur pelukisan awal atau exposition, pertikaian awal atau
komplikasi, titik puncak cerita atau klimax,
dan penyelesaian atau resolusi. Pembabakan drama Jaka Tarub ditandai dengan bergantian latar/setting dan permasalahan pokok yang dibicarakan. Tokoh-tokoh dalam
drama Jaka Tarub sebagian besar
berwatak datar atau flat character. Watak
para tokoh dapat diketahui melalui cara dramatic, yaitu penafsiran pembaca
terhadap perlakuan tokoh, perkataan, lingkungan, dan unsur yang dipikirkan
tokoh-tokoh lain. Selain itu, watak tokoh dalam drama Jaka Tarub dapat diketahui melalui dialog yang diucapkan para
tokohnya. Jaka Tarub termasuk
kategori drama parody, yaitu lebih banyak mengetengahkan tentang pemutarbalikan
fakta. Pilihan kata Akhudiat jauh dari ragam bahasa yang baik dan benar, namun
drama Jaka Tarub kelihatan lebih
“hidup” ketika memunculkan dialog-dialog dalam bahasa asing dan bahasa Jawa.
Daftar Pustaka:
Akhudiat. 1974. Jaka
Tarub. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT).
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sumarjo, Jacob & Saini K.M 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia.
Waluyo, Herman J. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita.
Wellek, Rene & Austin Warren. 2001. Teori Kesustraan. (Diterjemahkan oleh
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.


0 komentar:
Posting Komentar